PDM Kota Pematangsiantar - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Pematangsiantar
.: Home > Artikel

Homepage

Saatnya Membela Kaum New Mustadl'afin

.: Home > Artikel > PDM
12 Juli 2013 09:16 WIB
Dibaca: 2170
Penulis : Suara Muhammadiyah

Islam sebagai ajaran agama yang utuh tidak menganjurkan pembiaran terhadap derita umat manusia lain dan hanya berkutat pada penyelematan individual yang egoistik. Islam justru menganjurkan agar umatnya senantiasa mengiringi peneguhan iman dengan praktik amal shalih berupa amal penyelamatan sosial. Pengertian iman saja sangat luas. Mencakup bagaimana ketika iman berfungsi maka harta, nyawa dan martabat manusia lain harus aman, terlindungi dan terjaga.

 

Setiap titik inti ajaran Islam,termasuk ibadah mahdlah selalu dimaksudkan agar memiliki implikasi sosial. Mulai dari dua kalimat syahadat yang mengisyaratkan orientasi vertikal dan horizontal, kemudian shalat yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam perdamaian ke arah kanan dan kiri (ke arah lingkungan sosial). Kemudian puasa di bulan Ramadlan yang menyadarkan akan perlunya solidaritas dengan memperbanyak sedekah, zakat jelas orientasi sosialnya dan ibadah haji yang dimaksudkan untuk napak tilas atau menjelajahi jejak spiritual Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam upaya pembebasan kemanusiaan universal.

 

Seorang Muslim yang baik dan berkualitas akan membuat orang lain terselamatkan nasibnya berkat ucapan dan tindakannya. Pemahaman terhadap ajaran Islam yang seperti ini sudah mulai menyebar, terutama di kalangan yang mau melakukan kajian terhadap spirit Islam dan bagaimana memfungsikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kajian sering ditemukan banyak sekali hal-hal yang baru yang sebelumnya tidak terbayangkan. KHA Dahlan, juga mengalami hal yang demikian.

 

Ketika membaca berulang-ulang surat Al-Ma’un, KHA Dahlan mendapat pencerahan bahwa surat itu tidak boleh hanya dihafal dan diulang-ulang membacanya. Tetapi harus dipraktikkan sebagai alat untuk membebaskan sesama manusia, khususnya mereka yang yatim dan miskin atau kelompok lemah dan dilemahkan.

 

Anak yatim harus disantuni dengan santun, orang miskin yang kelaparan harus diberi makan, penganggur diberi pekerjaan, orang sakit diobati dan orang-orang yang punya harta dianjurkan agar turut dalam gerakan sosial semacam ini. Kalau aksi konkret semacam ini tidak dilakukan maka yang membaca ayat itu boleh disebut sebagai pendusta agama.

 

KHA Dahlan telah menemukan makna bahwa ayat-ayat Makkiyah adalah ayat inspiratif untuk melakukan perubahan dan perombakan sosial yang signifikan. Ia pun menyelenggarakan gerakan pengajian Wal ‘Ashri yang kemudian berubah menjadi gerakan penyadaran akan pentingnya pendidikan yang membebaskan manusia dari berbagai belenggu kultural maupun struktural.

 

Buya Ahmad Syafii Maarif, pemikir Islam senior yang dimiliki bangsa Indonesia pun pada hari tuanya tidak bosan-bosannya melakukan kajian kritis terhadap ajaran Islam dan terhadap pemahamannya sendiri tentang Islam. Ia mengisahkan bagaimana ketika di madrasah atau di pesantren dulu selalu diberi pemahaman bahwa ayat-ayat Makkiyah itu berisi tentang peneguhan iman belaka.

 

Ketika Buya Syafii kemudian membaca ulang ayat-ayat Al-Qur’an dalam surat Makkiyah ia menemukan makna sosial, bahkan makna perombakan sosial yang sangat mendasar. “Di masa Makkah, Al-Qur’an sudah berbicara tentang masalah-masalah kemanusiaan yang harus mendapat penyelesaian segera, tetapi terhalang oleh fakta karena kekuasaan politik masih tergenggam di tangan aristokrat Quraisy yang kaya dan pongah. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad tidak pernah melepaskan niatnya suatu saat untuk merebut kota Makkah, kota kelahirannya, demi tegaknya keadilan dan ajaran persamaan di antara manusia. Seperti kita maklum, dari Madinahlah, kemudian strategi penaklukan itu diatur dan dilaksanakan dengan berhasil sekalipun harus melalui peperangan demi peperangan yang membawa korban banyak baik di pihak Muslim maupun di pihak musuh. Perjuangan untuk menegakkan keadilan di mana pun sepanjang sejarah pasti berat dan tidak ada yang gratis,” katanya pada Pengajian Ramadlan PP Muhammadiyah di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta beberapa waktu lalu.

 

Buya Syafii berpendapat, khusus untuk Muhammadiyah dan gerakan Islam lain dalam kaitannya dengan Indonesia yang masih melecehkan keadilan, Teologi Al-Ma’un haruslah dirumuskan dalam bingkai teori yang sistematis dan radikal berdasarkan pemahaman yang benar dan tulus terhadap Al-Qur’an dan karier Nabi yang fenomenal itu. Sampai sekarang kita belum mampu merumuskan kerangka teori yang memadai yang sepenuhnya didukung oleh data di lapangan, tetapi yang dibenarkan oleh iman dan secara ilmu dapat dipertanggungjawabkan.

 

Buya juga berpenadapat, ayat-ayat Makkiyah adalah ibarat goncangan gempa bumi dengan skala tinggi yang demikian lantang berbicara tentang keadilan dan persamaan semestinya sudah sejak lama membangunkan kesadaran dan kepekaan nurani kita untuk tidak membiarkan Indonesia terkatung-katung tanpa kepastian peta masa depan seperti yang dideritanya selama ini.

 

DR Hamim Ilyas, MA, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah beberapa tahun ini melakukan kajian terhadap teologi bahkan fiqih Al-Ma’un. Hamim menjelaskan, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar bertanggungjawab untuk ambil bagian dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang disandang warga yang menjadi umat dakwahnya.

 

Sebagai organisasi social keagamaan, Muhammadiyah dalam melaksanakan gerakannya sudah barang tentu berdasar pada ajaranajaran agama dan telah menggariskan Islam moderat untuk menjadi basis teologi perjuangannya. Gerakan Muhammadiyah pada awal berdirinya di antaranya digerakkan oleh Al-Ma’un. Karena itu sangat beralasan jika basis teologi untuk pelaksanaan tanggung jawab itu dijabarkan dengan menggunakan bingkai surat ke-107 dari Al-Qur’an tersebut. Surat Al-Ma’un menegaskan bahwa orang yang mendustakan agama adalah mereka yang menelantarkan anak yatim dan orang miskin.

 

Penegasan ini ditujukan terhadap mereka yang mengaku mempercayai agama dan lahirnya menjalankan upacara agama. Namun pengakuan dan perbuatan mereka belum mencerminkan kejujuran dan kesungguhan iman. Selanjutnya, jika ketidakpedulian sosial mereka itu dibarengi dengan kelalaian menjalankan shalat, maka surat itu menegaskan mereka akan mendapatkan kecelakaan di akhirat. Penegasan ini menunjukkan bahwa keberagamaan yang benar adalah keberagamaan yang dapat mendorong pemiliknya untuk peduli kepada anak yatim dan orang miskin.

 

Keberagamaan ini menjadi keberagamaan yang otentik dalam Islam. Sebagai keberagamaan yang otentik, ia akan memberikan kepada umat kesadaran untuk menghadirkan diri di dunia secara benar dengan memiliki kapasitas yang memadai untuk bertindak, merasa, dan berfikir, berdasar pilihan jiwa yang bahagia, bukan lahir atas desakan dari luar yang semu. Dengan demikian, keberagamaan Islam yang otentik menurut surat itu memberikan kesadaran dan jalan kepada umat untuk mewujud dan menghadirkan diri sebagai pelayan-pelayan bagi anak yatim dan orang miskin dengan ikhlas dan bahagia. Sebaliknya keberagamaan yang tidak otentik atau palsu menurut surat itu adalah keberagamaan yang tidak konsisten, tanpa spiritualitas dan tanggung jawab sosial. Keberagamaan semacam ini termanifestasi dalam kelalaian menjalankan shalat, perbuatan riya’ dan keengganan menolong, yang semua berujung pada kesengsaraan di alam akhirat.

 

Dalam praktik, menurut Said Tuhuleley, Ketua Majelis Pengembangan Masyarakat PP Muhammadiyah, semua langkahnya harus terfokus. Untuk MPM sendiri ada lima fokus kegiatan Muhammadiyah yang dilakukan MPM. “Pertama, advokasi terhadap kebijakan publik yang tidak berpihak kepada rakyat.

 

Kedua, menegakkan kedaulatan pangan. Ketiga, memberdayakan sektor informal yang merupakan langkah alternatif bagi rakyat miskin. Keempat, memberdayakan kaum difabel dan kelima, kami memberdayakan kaum buruh,” kata Said.

 

Langkah operasional dari spirit Al-Ma’un tercakup dalam lima langkah yang telah terfokus di atas. Dalam konteks sekarang, menegakkan kedaulatan pangan merupakan pekerjaan paling berat sekaligus mulia.

 

“Untuk mempercepat prosesnya, kami mendirikan tiga Pusdiklat Terpadu di Indonesia. Pertama, di Kayutanam Sumatera Barat, di Salaman Magelang dan di Makasar Sulawesi Selatan,” tambah Said. ”Sedang untuk sektor informal, kami menumbuhkan sentra-sentra kegiatan informal di berbagai tempat. Salah satunya adalah sentra makanan olahan yang dapat dijual sebagai cinderamata wisata. Contohnya, di kampung-kampung Yogyakarta


Tags: newmustadl'afin , keyatimansosial , muhammadiyah
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website